November 11, 2010

Beragama Dalam Kebencian


Masih segar dalam ingatan kita dengan tragedi kekerasan oleh sekelompok Front Pembela Islam (FPI) terhadap jemaat HKBP di Bekasi, 12 September 2010. Peristiwa ini terjadi di hari ketiga lebaran, di saat umat muslim tengah merayakan hari raya Iedul Fitri. Sesaat setelah pristiwa ini banyak pula komentar di masyarakat, “saatnya orang bermaaf-maafan kok malah berbuat menyakiti orang lain”. Peristiwa ini memang terjadi di saat banyak orang melakukan silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan. Sebuah tadisi tahunan yang bukan saja dijalankan oleh umat muslim melainkan juga masyarakat dari agama-agama lainnya. Karenanya ketika peristiwa yang memakan korban seorang pendeta dan jemaat HKBP yang hendak melakukan ibadah ini pantas menjadi keprihatinan publik.

Masalah kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Indonesia seperti tak ada habis-habisnya. Persoalannya terjadi secara mengulang-ulang, hingga secara tidak sadar idiom perkataannya semakin menjadi sederhana: “kekerasan agama”. Secara sosiologis, ungkapan ini biasa dan lazim digunakan, tetapi secara teologis mengandung konsekuensi yang sangat dalam, bahwa seakan-akan agama membenarkan setiap bentuk kekerasan. Dan, faktanya berbagai kekerasan yang melibatkan atau mengatasnamakan agama pun telah banyak terjadi, dengan berbagai motif yang melatarbalekanginya.

Masalah pendirian rumah ibadah adalah salah satu faktor yang seringkali memicu terjadinya kekisruhan antar umat beragama ini. Tidak jauh dari Kota Salatiga pada tahun 2000, misalnya, tepatnya di Dusun Kemiri, Desa Plumbon, Kecamatan Suruh – Kabupaten Semarang, sekelompok massa pemuda yang mengatasnamakan umat Islam mendatangi sebuah rumah warga yang sedang digunakan untuk ibadah jemaat gereja. Massa mempertanyakan keabsahan dengan difungsikannya rumah warga untuk kegiatan ibadah. Padahal warga di sekitar tidak pernah mempersoalkannya karena kegiatan ibadah itu memang sudah lama berlangsung dan tidak ada yang merasa terganggu. Para pemuda ini ternyata datang dari luar desa, karena itu tidak seorang pun dari warga setempat yang terlibat dalam aksi tersebut. Diduga munculnya aksi ini hanya dilatarbelakangi oleh sikap ketidaksenangan segelintir orang karena perbedaan keyakinan.

Kejadian seperti ini ternyata terjadi di banyak tempat di Indonesia. Komnas HAM mencatat, sepanjang 2009 ada sekitar 100 atau 75 persen dari laporan yang masuk ke Komnas HAM adalah sengketa berkaitan dengan pendirian tempat ibadah (Koran Tempo, 12/1/2010). Di antara peristiwa-peristiwa itu ada juga yang akhirnya berujung pada kekerasan. Tragedi yang menimpa warga jemaat HKBP di Bekasi juga adalah salah satu dari wujud suatu konflik yang tidak terkelola sehingga posisi diametral di antara kedua pihak pun semakin tajam. Pemerintah setempat yang seharusnya bertanggung jawab telah terlalu lama membiarkan menjadi konflik kian terbuka dan tanpa kepastian hukum, sedangkan situasi relasi saling kesepahaman antara kedua pihak belum juga terbangun.

Regulasi yang ada, seperti SKB 2 Menteri No. 8/2006 dan No. 9/2006 juga banyak dinilai mengundang kontroversi. Banyak kalangan menilai SKB ini yang kerapkali memicu terjadinya ketegangan antar umat beragama karena masih membuka ruang multitafsir bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Imbasnya adalah munculnya tafsir sepihak yang kemudian melegitimasi untuk melakukan pembatasan dan penekanan bagi kebebasan umat beragama. Hal ini yang justru bertentangan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang dengan jelas mengamanatkan : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-maing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara lebih jauh, SKB ini dinilai justru tidak sejalan dengan amanat UUD ’45.

Hingga saat ini belum ada titik terang, adakah kemungkinan ke depan diperlukan revisi, dihapus atau dibuat UU baru yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Di parlemen, sikap pro dan kontra pun muncul dalam rapat paripurna DPR (21/9/2010) terkait dengan pembahasan SKB ini. Sebagian anggota dari Fraksi Golkar menghendaki untuk dicabut, sedangkan anggota dari PKS dan PAN tanpa pembacaan secara kritis, bersikukuh dan memandang SKB 2 menteri masih relevan untuk diberlakukan. Pasalnya, Indonesia masih perlu payung hukum yang mengatur masalah rumah ibadah (detiknews, 21/9/2010). Dari luar parlemen, dari PBNU mencoba menunjukkan sikap moderasinya. Sebagaimana diungkapkan KH. Said Aqil Siradj, SKB 2 menteri tidak perlu dicabut, tetapi bila ada kekurangan harus diperbaiki demi kemaslahatan seluruh umat beragama (detiknews, 23/9/2010).

Situasi pro dan kontra bukanlah sebuah tanda terang, melainkan situasi yang menggantung. Bila dibiarkan bergulir bebas di ruang publik akan semakin tinggi resiko sosial yang bakal ditanggung. Sudah seharusnyalah negara bertanggung jawab untuk memberi solusi secara kepastian hukum yang menjamin keadilan bagi semua umat beragama []

No comments: