July 22, 2008

Dari Totto Chan hingga Sekolah alternatif

SEKOLAH Itu Candu..”. Itulah kata Roem Topatimasang yang juga dituangkan dalam sebuah judul bukunya. Ungkapan ini sederhana namun menantang, tetapi juga tidak mengada-ada karena terjadinya distorsi-distorsi nilai ternyata berawal justru dari lembaga prestisius bernama sekolah. Karena sekolah orang mendapatkan kedudukan sosial, dan dari sekolah pula orang bisa menciptakan dan menempatkan derajat sosial tertentu atas orang lain. Kalau saja Ki Hajar Dewantoro masih hidup sampai sekarang, ia akan menangis sejadi-jadinya melihat kenyataan bahwa pendidikan yang sejatinya untuk membentuk anak didik menjadi seorang manusia telah berubah wujud menjadi binatang bernama ”sekolah”. Ya, karena sekolah, kata Roem Topatimasang, untuk mendapatkan pangkat, kedudukan, jabatan, tapi juga sekaligus pintar menciptakan kejahatan-kejahatan.

Pernah dengar kisah Totto Chan? Kisah ini terjadi pada masa Perang Dunia II (sebelum peristiwa peledakan bom atom) di Jepang. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dikeluarkan dari sekolahnya karena sang guru tidak tahan dengan ulahnya yang ”nakal dan cerewet”. Puncak kekesalan sang guru akhirnya Totto Chan terkena sanksi telak: DO dari sekolahnya.

Apa sebenarnya yang telah dilakukan Totto Chan? Asal tahu saja, ia bukanlah anak yang terlalu mudah dibayangkan sebagai anak bandel dan anti pendidikan. Stigma ”nakal dan cerewet” dari gurunya di masa kecil hanyalah sebuah proses perkembangan anak yang tidak atau belum sepenuhnya dipahami oleh sang guru. Ini terbukti setelah ia menjalani pendidikan di sebuah sekolah yang tepat menurut keinginannya Totto Chan pun tumbuh dan berkembang secara maksimal, matang, cerdas, dan dewasa. Kini, Totto Chan dewasa bernama Tetsuko Kuroyanagi, berprofesi sebagai presenter TV yang sangat populer di negaranya. Namanya bahkan juga menjadi title sebuah program Tetsuko’s Room. Bahkan, pikiran-pikirannya tentang pendidikan kini dijadikan sebagai rujukan standardisasi sistem pendidikan nasional di Jepang. Tetsuko juga terpilih menjadi duta Unicef untuk anak-anak terlantar di dunia.

Apa yang menarik dari pengalaman pendidikan Totto Chan? Dia belajar di sebuah sekolah yang ruangan kelasnya adalah bekas gerbang kereta api. Bisa dibayangkan betapa sederhananya lembaga pendidikan seperti ini. Tetapi dari sekolah inilah Totto Chan banyak belajar tentang kehidupan karena itu sekolah ini dinamai Tomoe-Gakuen (sekolah kehidupan). Dari sekolah ini pula Totto Chan belajar cinta dan kesetaraan, tanpa membedakan atas yang lain. Setiap anak mempunyai hak dan kedudukan yang sama, tidak peduli mereka pintar atau bodoh, tetapi mereka adalah bagian dari suatu keluarga.

Pengalamannya di dalam menjalani proses pendidikan tampaknya terefleksi kuat oleh Tetsuko ini. Hal inilah yang mendorong ia banyak memberikan perhatian pada hak pendidikan dan kebebasan dalam pendidikan bagi anak manusia. Sekolah bukanlah lembaga pemaksaan aturan-aturan, tetapi sekolah adalah tempat perjumpaan dengan pengetahuan. Untuk bisa tahu, anak harus bebas dari rasa takut. Karenanya prinsip utama dalam belajar adalah melakukannya dengan rasa senang.

Tentang nilai-nilai pendidikan seperti ini, mengingatkan saya pada sebuah sekolah yang dirintis oleh dua teman saya Bahrudin dan Sujono, dua orang muda desa di Desa Kalibening - Salatiga. Sekolah ini dinamai SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. Dari sisi muatan nilai, pola pendidikan ini tidak jauh berbeda dengan Tomoe-Gakuen (Tentu banyak sisi yang membedakan antara keduanya, paling tidak dari segi konteks-nya). Dilabeli alternatif, karena sistem pendidikan ini berusaha ingin keluar dari mainstream sekolah pada umumnya. Dinamai Qaryah Thayyibah (desa yang makmur) berarti sebuah harapan bahwa dengan pendidikan seyogyanya untuk memakmurkan masyarakat terutama orang-orang marjinal atau terpinggirkan di pedesaan.

Yang menarik dari sekolah ini bagi saya, setiap anak memiliki kebebasan mengembangkan minatnya dalam pengetahuan. Setiap anak memiliki minat dan rasa ingin tahu tentang sesuatu. Karena itulah tidak satupun dari mereka yang tidak mempunyai proyek pemikiran. Tidak satupun dari mereka yang menjadikan ini sebuah beban dalam sekolah, sebaliknya semangat mereka justru tampak dari rasa kecintaan mereka dengan sekolah. Di tempat ini hampir tidak ada waktu yang kosong dari aktivitas belajar. Bayangkan saja, dari sejak jam 06.00 pagi sudah terdengar suara ”sarapan pagi” bernada cas-cis-cus English Morning. Ini kelas rutin sebelum pelajaran reguler dari jam 07.00 hingga 13.00. Satu jam kemudian setelah kegiatan belajar selesai suasana lengang pun berlalu karena mereka kembali berkerumun ke sekolah. Masing-masing anak, kadang secara berkelompok, berselancar di dunia maya mencari bahan-bahan pustaka untuk membuat artikel. Ini bukan tugas dari guru mereka, melainkan adalah inisiatif masing-masing yang biasa mereka gunakan untuk bahan diskusi. Anak-anak desa ini juga banyak melakukan komunikasi dengan anak-anak di seluruh dunia, saling tukar pengalaman dan informasi, bahkan juga saling bertukar artikel di antara mereka.

Ini adalah tradisi yang tidak banyak ditemukan di sekolah-sekolah konvensional. Peserta belajar mendapat kebebasan bereksplorasi untuk mencari jawaban atas rasa keingintahuannya. Dan karena itulah mereka patut berbangga karena ternyata dari pretasi akademiknya selalu di atas rata-rata sekolah konvensional di Kota Salatiga. Dalam bidang tulis-menulis mereka juga telah mampu berkarya. Bahkan beberapa novel karya mereka telah dipublikasikan oleh penerbit LKiS di Yogyakarta.

Ini adalah sisi lain kalau ngomong soal prestasi peserta belajar sekolah alternatif tersebut. Tetapi tak kalah penting dari sistem pendidikan alternatif ini adalah semangat egalitarian yang terbangun di antara mereka. Kesibukan dan aktivitas yang mereka ciptakan tidak bakal membuka peluang mereka untuk membuat kelompok ”geng sekolah”, yang banyak diajarkan dari sinetron. Semangat egalitarian dan kerjasama diantara mereka ternyata lebih menghasilkan hal-hal positif serta mampu mengeliminasi kekosongan belajar, sehingga tidak lagi tertarik untuk menjadi remaja sinetron yang selama ini menggejala di sekolah-sekolah konvensional []