January 5, 2009

Keep It Simple Stupid (?)

Seorang teman mengirimkan sebuah e-mail (terusan) kepada saya yang bercerita tentang beberapa kasus. Cerita-cerita tersebut(mungkin) dimaksudkan untuk lesson learn mengenai konsep berfikir dan bertindak secara sederhana dalam rangka mengatasi persoalan. Point penting yang hendak dimaksudkan dengan cara ini tentu saja adalah efisiensi, yakni disamping persoalan diatasi secara sederhana tentu juga berbiaya murah. Prinsip ini sebenarnya sama sekali tidak salah, bahkan sangat diperlukan di saat situasi krisis yang menyebabkan hidup berbiaya tinggi ini. Tetapi masalahnya adalah contoh kasus yang dipaparkannya diambil dari konteks yang berbeda dan tidak sederhana, sehingga tidaklah representatif.

Si empu cerita menurut saya melupakan hal-hal yang sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Kebijakan sebuah institusi multinasional bisa secara sengaja memilih cara yang rumit karena berbagai kepentingan di balik upaya pengatasan masalah itu oleh karena pertimbangan nilai strategisnya.

Sebelum saya berkomentar lebih jauh, berikut adalah ketiga cerita tersebut.

Cerita Pertama, adalah kasus kotak sabun yang kosong, yang terjadi di salah satu perusahaan kosmetik terbesar di Jepang. Perusahaan tersebut menerima keluhan dari pelanggan yang mengatakan bahwa kotak sabun yang dibelinya ternyata cuma bungkus kosong. Dengan segera pimpinan perusahaan menyampaikan masalah itu ke bagian pengepakan bahwa, ada satu kotak sabun yang terluput dan sampai ke bagian pengepakan dalam keadaan kosong.

Untuk mengatasi itu maka diciptakanlah sebuah mesin sinar X dengan resolusi tinggi yang mampu memonitor setiap kotak sabun yang melewatinya sehingga bisa dipastikan bahwa kotak tersebut tidak kosong. Tetapi untuk mencitakan mesin itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Tetapi ketika sebuah perusahaan kecil mengalami hal yang sama cukup diatasi dengan kipas angin sebagai alat sensor. Dengan kipas angin itu, setiap ada kotak sabun kosong yang melewatinya akan tertiup dan keluar dari jalur pengepakan.

Cerita Kedua, pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa, mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol, karena tinta pulpen tersebut tidak dapat mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan biaya 12 juta dolar.

Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan- keadaan seperti gravitasi nol, terbalik, dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal dan dalam derajat temperatur mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat celcius.

Dan apakah yang dilakukan para astronout dari Rusia ? Mereka cukup dengan menggunakan pensil!.

Cerita Ketiga, suatu hari, pemilik apartemen menerima komplain dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Dia (pemilik) mengundang sejumlah pakar untuk men-solve.

Satu pakar menyarankan agar menambah jumlah lift. Tentu, dengan bertambahnya lift, waktu tunggu jadi berkurang. Pakar lain meminta pemilik untuk mengganti lift yang lebih cepat, dengan asumsi semakin cepat orang akan terlayani. Kedua saran tadi tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tetapi, pakar lain berpendapat, Inti dari komplain pelanggan anda adalah mereka merasa lama menunggu”. Pakar tadi hanya menyarankan untuk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, agar pelanggan teralihkan perhatiannya dari pekerjaan “menunggu” dan merasa “tidak menunggu lift”.

Pada akhir paparannya kemudian oleh penutur disimpulkan demikian:

“Moral cerita ini adalah sebuah filosofi yang disebut KISS (Keep It Simple Stupid), yaitu selalu mencari solusi yang sederhana, sehingga bahkan orang bodoh sekalipun dapat melakukannya. Cobalah menyusun solusi yang paling sederhana dan memungkinkan untuk memecahkan masalah yang ada. Maka dari itu, kita harus belajar untuk fokus pada solusi daripada pada berfokus pada masalah.”

Menyimak ketiga kasus tadi, logika yang diandalkan terhadap konklusinya terlalu biner, yakni menempatkan logika rumit vs sederhana, mahal vs murah, lamban vs cepat, dsb. Tindakan pemecahan yang rumit, boros dan memakan waktu sebagai diametral dari tindakan yang simple, efisien dan cepat. Sampai pada kesimpulannya, pengambil kebijakan dinilai stupid, bukannya mengatasi secara sederhana dan murah melainkan memilih cara yang dinilai kurang efektif. Padahal sesunguhnya ada reasoning lain yang dibangun di antara pilihan-pilihan yang sesungguhnya tidak sekedar biner dalam logika.

Logika efisiensi memang tidak salah, hukum ekonomi pun mengatakan demikian, terutama bagi siapapun yang sedang atau ingin sukses dalam berbisnis. Hingga di sekolah-sekolah kita selalu hukum ekonomi yang mengajarkan “modal sekecil-kecilnya, keuntungan sebanyak-banyaknya”. Tetapi mensikapi tiga kasus di atas tidak bisa di lihat secara sederhana dan harus dicermati secara lain.

Hal-hal yang sesungguhnya harus dicermati adalah, mengapa NASA berani mengeluarkan uang 12 juta dolar hanya untuk menciptakan sebuah pulpen yang dapat berfungsi dalam grafitasi nol?; Mengapa perusahaan repot-repot menciptakan mesin sinar X, bukankah cukup dengan kipas angin pun bisa?; Mengapa memilih membangun fasilitas lift berkecepatan tinggi, bukannya dengan memasang kaca cermin sehingga pengguna lift bisa sibuk “narsis” di depan kaca dan tak bosan menunggu?

Para pengambil kebijakan dalam tiga kasus tadi bukan tidak tahu bahwa ada cara sederhana yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah-masalahnya. Secara konteks yang berbeda kita sering mendengar orang mengungkapkan sinisme terhadap praktik pelayanan publik pemerintahan, “kalau bisa dipersulit mengapa musti dipermudah…”. Ungkapan ini seringkali dipakai orang dalam menghadapi situasi birokrasi yang mengadung sinyalemen kebosanan publik yang terlalu banyak membuang energi maupun biaya hanya untuk mendapatkan sebuah pelayanan. Dan, dibalik kerumitan birokrasi pelayanan ini sesungguhnya terkandung keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi.

Suatu tindakan dilakukan bukan tanpa alasan, dan alasan selalu mempengaruhi tujuan dari suatu tindakan. Bagi penganut kapitalisme liberal, berfikir dan bertindak sederhana hanya akan menghilangkan peluang investasi yang dampak keuntungannya tak lagi terhitung.

Untuk membuat sebuah pulpen yang memerlukan riset dan pengujian ilmiah selama satu dekade dengan biaya 12 juta dolar bukanlah upaya untuk sekedar berboros. Tetapi kapitalisme memandang mengembangkan karya inovasi melalui proses panjang ini berarti pula menciptakan peluang investasi. Yang berkunjung ke luar angkasa bukan cuma bangsa Amerika melainkan juga bangsa-bangsa di dunia. Mereka ini nantinya juga bakal menggunakan pulpen tersebut yang dimungkinkan harganya bisa mencapai ratusan ribu dolar.

Hal yang sama juga berlaku dalam penciptaan mesin sinar X bagi perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar tidak perlu repot menciptakan mesin sinar X sendiri karena sudah ada perusahaan yang memproduksinya. Ini juga merupakan investasi yang berdampak pada sistem produksi yang efisien, tidak lagi manual, jumlah tenaga yang sedikit tetapi volume produksi semakin meningkat. Sebuah karya inovasi memiliki bobot nilai tinggi bila barang yang dihasilkannya tidak mudah dilakukan setiap orang, dan pastilah akan biasa-biasa saja jika setiap orang bisa menciptkan barang atau sesuatu yang sama dan tidak punya nilai investasi.

Untuk sebuah tujuan yang besar dan tidak mudah dilakukan setiap orang diperlukan pula investasi yang besar. Berinvestasi secara recehan hanya akan berdampak pula secara recehan, disamping tidak punya nilai strategis juga tidak berdampak pada "perubahan" besar bagi publik. Investasi yang besar tidak hanya berdampak pada surplus ekonomi, melainkan juga terjadinya revolusi budaya dan perubahan cara pandang baru masyarakat tentang dunianya. Karena karakteristik kapitalisme adalah setiap karya inovasi diorientasikan kepada upaya untuk mempengaruhi setiap perubahan cara hidup masyarakat.

Inilah sesungguhnya yang sedang terjadi dalam perubahan masyarakat kita dewasa ini, di mana perilaku manusia dipengaruhi oleh perubahan pola pikir dan sikap budaya massa yang konsumtif dan imajiner. Guna mencitrakan diri dalam imajinasinya sebagai manusia modern maka ia harus merubah konsep keinginan menggantikan kebutuhan.

Kapitalisme telah menjadi spiritualitas baru yang membentuk manusia bukan lagi sebagai sobyek atas dirinya. Citra dirinya bukan pada nilai-nilai yang diyakini, melainkan benda apa yang dimiliki. Image tentang keanggunannya diputuskan oleh jenis kosmetik dan merek bajunya. Dan, manusia tiba-tiba menjadi “mahluk rasial” oleh tafsir kecantikannya yang “hanya mengakui” jenis warna kulit tertentu, yang industri kecantikan pun siap untuk merubahnya. Praktik kapitalisme dengan demikian mulai menggeser nilai spiritualitas masyarakat yang inheren sehingga manusia mengalami krisis kepercayaan diri dan makin mengucilkan citra alamiahnya.

Dunia kapitalisme sangatlah memahami hal-hal yang kecil, alamiah, dan sederhana. Tetapi melakukan hal-hal yang kecil, alamiah dan sederhana berarti tidak berorientasi pada hasrat kapitalisme yang ingin merubah cara pandang publik dunia. Untuk sebuah tujuan mempengaruhi dan merubah cara pandang publik dimulai bukan dengan cara sederhana. []