November 25, 2012

Tokoh Frint Pembela Islam asal Palembang Munarman babak belur digebuki lelaki di tepi jalan

Tokoh Frint Pembela Islam asal Palembang Munarman babak belur digebuki lelaki di tepi jalan

November 29, 2010

Daftar Kekerasan FPI (Front Pembela Islam)

Ini adalah daftar kekerasan yang telah dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam), selama kurun waktu antara tahun 2002 - 2008.

Tahun 2002
15 Mar FPI merusak diskotik di Plaza Hayam Wuruk, Mekar Jaya Billiard, di Karet, Jakarta

24 Mar FPI mendatangi diskotek New Star di Ciputat.

2 Mei FPI menggrebek gudang minuman di Petamburan, Tanah Abang.

26 Jun FPI demo Gubernur Sutiyoso di Gedung DPRD DKI, merusak sejumlah kafe di Jalan Jaksa dengan tongkat bambu.

4 Okt FPI sweeping tempat-tempat hiburan.

6 Nov Dewan Pimpinan Pusat FPI, mengeluarkan maklumat pembekuan kelaskaran FPI di seluruh Indonesia.

3 Des FPI diaktifkan kembali.

Tahun 2003
8 Apr Ketua FPI Habib Rezeh ditahan di Polda Metro Jaya

8 Mei Habib Rezeh diadili di PN Jakarta

22 Mei Laskar FPI menganiaya pria di jalan tol.

1 Jul Habib Rezeh berjanji menindak anggota FPI yang melanggar hukum.

11 Agu Hakim memvonis Habib Rezeh 7 bulan penjara.

19 Nov Habib Rezeh bebas.

8 Des Sekjen FPI menyatakan FPI ubah paradigma perjuangan.

Tahun 2004
3 Okt FPI menyerbu Sekolah Sang Timur.

22 Okt FPI melakukan pengrusakan kafe di Kemang.

24 Okt FPI meminta maaf kepada Kapolda Metro Jaya.

25 Okt Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam cara-cara kekerasan FPI.

28 Okt FPI tetap meneruskan sweeping di bulan Ramadhan.

14 Des FPI bentrok dengan Satpam JCT (Jakarta International Container Terminal).

Tahun 2005
27 Jun FPI menyerang Kontes Miss Waria di Gedung Sarinah Jakarta.

5 Agu FPI menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu.

2 Agu FPI mengancam TK Tunas Pertiwi untuk menghentikan kebaktian.

23 Agu Gus Dur meminta FPI menghentikan aksi penutupan paksa gereja di Bandung.

5 Sep Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengecam FPI.

22 Sep FPI memaksa pameran foto Urban / Culture di Museum Bank Indonesia ditutup.

16 Okt FPI mengusir Jamaat Gereja di Jatimulya Bekasi Timur.

23 Okt FPI kembali menghalangi kebaktian.

18 Okt Anggota FPI membawa sajam saat demo di Polres Metro Jakarta Barat.

19 Sep FPI menyerbu Pemukiman Jamaah Ahmadiyah di Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur.

Tahun 2006
19 Feb Massa FPI demo di Kedubes AS dan anarkis.

14 Mar FPI membuat ricuh di Pendopo Kabupaten Sukoharjo.

12 Apr FPI menyerang dan merusak Kantor Majalah Playboy.

20 Mei FPI menggrebek 11 tempat hiburan di Pondok Gede.

21 Mei FPI menyegel kantor Fahmina Institute di Cirebon.

23 Mei FPI mengusir Gus Dur dari forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta Jawa Barat.

25 Mei FPI Bekasi mengepung kantor Polres Metro Bekasi.

Tahun 2007
25 Jan FPI dipimpin oleh Habib Rezeh demo di Komnas HAM meminta dilakukannya investigasi serangan polisi di Tanahruntuh, Poso.

27 Mar Memukuli ibu-ibu dari Rakyat Miskin Kota saat demo di Hotel Shangrilla Jakarta.

29 Mar FPI menyerang massa Papernas yang rata-rata kaum perempuan di kawasan Dukuh Atas. Papernas dituduh penyebar paham komunis.

29 Apr FPI membatalkan pengurus Papernas Sukoharjo.

1 Mei FPI bentrok dengan Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY) di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret. FPI menuduh ARPY terkait Papernas.

19 Mei FPI mendatangi diskotek Jogja di Jogja dan mengusir pengunjung.

11 Nov Terlibat pembakaran Makelis Taklim Nurul Yakin di Tangerang .

Tahun 2008
1 Jun FPI menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AK-KBB) yang memperingati hari lahirnya Pancasila.

Sumber tulisan :Jawa Pos Hari Selasa, tgl 3 Juni 2008 - halaman 15

November 11, 2010

Beragama Dalam Kebencian


Masih segar dalam ingatan kita dengan tragedi kekerasan oleh sekelompok Front Pembela Islam (FPI) terhadap jemaat HKBP di Bekasi, 12 September 2010. Peristiwa ini terjadi di hari ketiga lebaran, di saat umat muslim tengah merayakan hari raya Iedul Fitri. Sesaat setelah pristiwa ini banyak pula komentar di masyarakat, “saatnya orang bermaaf-maafan kok malah berbuat menyakiti orang lain”. Peristiwa ini memang terjadi di saat banyak orang melakukan silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan. Sebuah tadisi tahunan yang bukan saja dijalankan oleh umat muslim melainkan juga masyarakat dari agama-agama lainnya. Karenanya ketika peristiwa yang memakan korban seorang pendeta dan jemaat HKBP yang hendak melakukan ibadah ini pantas menjadi keprihatinan publik.

Masalah kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Indonesia seperti tak ada habis-habisnya. Persoalannya terjadi secara mengulang-ulang, hingga secara tidak sadar idiom perkataannya semakin menjadi sederhana: “kekerasan agama”. Secara sosiologis, ungkapan ini biasa dan lazim digunakan, tetapi secara teologis mengandung konsekuensi yang sangat dalam, bahwa seakan-akan agama membenarkan setiap bentuk kekerasan. Dan, faktanya berbagai kekerasan yang melibatkan atau mengatasnamakan agama pun telah banyak terjadi, dengan berbagai motif yang melatarbalekanginya.

Masalah pendirian rumah ibadah adalah salah satu faktor yang seringkali memicu terjadinya kekisruhan antar umat beragama ini. Tidak jauh dari Kota Salatiga pada tahun 2000, misalnya, tepatnya di Dusun Kemiri, Desa Plumbon, Kecamatan Suruh – Kabupaten Semarang, sekelompok massa pemuda yang mengatasnamakan umat Islam mendatangi sebuah rumah warga yang sedang digunakan untuk ibadah jemaat gereja. Massa mempertanyakan keabsahan dengan difungsikannya rumah warga untuk kegiatan ibadah. Padahal warga di sekitar tidak pernah mempersoalkannya karena kegiatan ibadah itu memang sudah lama berlangsung dan tidak ada yang merasa terganggu. Para pemuda ini ternyata datang dari luar desa, karena itu tidak seorang pun dari warga setempat yang terlibat dalam aksi tersebut. Diduga munculnya aksi ini hanya dilatarbelakangi oleh sikap ketidaksenangan segelintir orang karena perbedaan keyakinan.

Kejadian seperti ini ternyata terjadi di banyak tempat di Indonesia. Komnas HAM mencatat, sepanjang 2009 ada sekitar 100 atau 75 persen dari laporan yang masuk ke Komnas HAM adalah sengketa berkaitan dengan pendirian tempat ibadah (Koran Tempo, 12/1/2010). Di antara peristiwa-peristiwa itu ada juga yang akhirnya berujung pada kekerasan. Tragedi yang menimpa warga jemaat HKBP di Bekasi juga adalah salah satu dari wujud suatu konflik yang tidak terkelola sehingga posisi diametral di antara kedua pihak pun semakin tajam. Pemerintah setempat yang seharusnya bertanggung jawab telah terlalu lama membiarkan menjadi konflik kian terbuka dan tanpa kepastian hukum, sedangkan situasi relasi saling kesepahaman antara kedua pihak belum juga terbangun.

Regulasi yang ada, seperti SKB 2 Menteri No. 8/2006 dan No. 9/2006 juga banyak dinilai mengundang kontroversi. Banyak kalangan menilai SKB ini yang kerapkali memicu terjadinya ketegangan antar umat beragama karena masih membuka ruang multitafsir bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Imbasnya adalah munculnya tafsir sepihak yang kemudian melegitimasi untuk melakukan pembatasan dan penekanan bagi kebebasan umat beragama. Hal ini yang justru bertentangan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang dengan jelas mengamanatkan : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-maing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara lebih jauh, SKB ini dinilai justru tidak sejalan dengan amanat UUD ’45.

Hingga saat ini belum ada titik terang, adakah kemungkinan ke depan diperlukan revisi, dihapus atau dibuat UU baru yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Di parlemen, sikap pro dan kontra pun muncul dalam rapat paripurna DPR (21/9/2010) terkait dengan pembahasan SKB ini. Sebagian anggota dari Fraksi Golkar menghendaki untuk dicabut, sedangkan anggota dari PKS dan PAN tanpa pembacaan secara kritis, bersikukuh dan memandang SKB 2 menteri masih relevan untuk diberlakukan. Pasalnya, Indonesia masih perlu payung hukum yang mengatur masalah rumah ibadah (detiknews, 21/9/2010). Dari luar parlemen, dari PBNU mencoba menunjukkan sikap moderasinya. Sebagaimana diungkapkan KH. Said Aqil Siradj, SKB 2 menteri tidak perlu dicabut, tetapi bila ada kekurangan harus diperbaiki demi kemaslahatan seluruh umat beragama (detiknews, 23/9/2010).

Situasi pro dan kontra bukanlah sebuah tanda terang, melainkan situasi yang menggantung. Bila dibiarkan bergulir bebas di ruang publik akan semakin tinggi resiko sosial yang bakal ditanggung. Sudah seharusnyalah negara bertanggung jawab untuk memberi solusi secara kepastian hukum yang menjamin keadilan bagi semua umat beragama []

December 26, 2009

Website Pertama di Dunia

Sir Timothy John ”Tim” Berners-Lee, KBE (TimBL atau TBL) (lahir di London, Inggris, 8 Juni 1955) adalah penemu World Wide Web dan ketua World Wide Web Consortium, yang mengatur perkembangannya.

Pada 1980, ketika masih seorang kontraktor bebas di CERN, Berners-Lee mengajukan sebuah proyek yang berbasiskan konsep hiperteks (hypertext) untuk memfasilitasi pembagian dan pembaharuan informasi di antara para peneliti. Dengan bantuan dari Robert Cailliau dia menciptakan sistem prototipe bernama Enquire.

Setelah meninggalkan CERN untuk bekerja di John Poole’s Image Computer Systems Ltd, dia kembali pada 1984 sebagai seorang rekan peneliti. Dia menggunakan ide yang mirip yang telah dia gunakan pada Enquire untuk menciptakan World Wide Web, di mana dia mendesain dan membangun browser yang pertama (bernama WorldWideWeb dan dikembangkan dalam NeXTSTEP) dan server web pertama yang bernama httpd.

Situs web pertama yang dibuat Berners-Lee (dan oleh karena itu ia juga merupakan situs web pertama) beralamat di http://info.cern.ch/ (telah diarsip) dan dimasukkan online untuk pertama kalinya pada 6 Agustus 1991.
Pada 1994, Berners-Lee mendirikan World Wide Web Consortium (W3C) di Massachusetts Institute of Technology.

Hingga kini, Berners-Lee masih tetap rendah hati dan tidak berkeinginan untuk mendapatkan status populer. Banyak yang masih tidak mengetahui kekuatan karya pria ini, World Wide Web.
Salah satu kontribusi terbesarnya dalam memajukan World Wide Web adalah dengan tidak mempatenkannya sehingga masih dapat digunakan secara bebas.

Pada 16 Juli 2004 dia diberi gelar kehormatan KBE oleh Ratu Elizabeth II sebagai penghormatan atas jasa-jasanya.

May 7, 2009

“Pengadilan Rakyat”

Sudah menjadi kebiasaan Kromo, setiap liburan keponakannya yang sekolah di kota selalu membawakan dia oleh-oleh berupa kertas print out berisi berita-berita dari internet. Meskipun melalui tangan kedua Kromo sering mendapatkan berita dari internet yang saat ini juga telah menjadi media alernatif bagi sebagian masyarakat. Karena cukup banyak informasi yang tidak tersaji di koran dan tv tapi tersaji di internet. Informasinya juga sering mengejutkan karena menyajikan data “bawah meja” atau dinamika yang sesungguhnya layak diberitakan tapi luput dari pemberitaan. Awalnya Kromo sering terkejut setiap membaca berita yang baru, tapi karena terlalu seringnya membaca Kromo pun makin terbiasa.

Tetapi kali ini Kromo benar-benar teramat sangat terkejut dengan oleh-oleh yang terakhir. Berita ini bertajuk “PENDAPATAN ANGGOTA DPR”, yang di dalamnya menyebutkan pendapatan para anggota DPR yang mencapai hampir satu milyar per tahun. Angka sebesar itu terdiri dari gaji pokok per bulan dan tunjangan rutin lainnya, seperti tunjangan-tunjangan kehormatan, komunikasi, aspirasi, listrik, dan pengawasan. Di luar itu mereka juga mendapatkan gaji ke-13 setiap bulan Juni serta dana reses sebanyak empat kali dalam satu tahun sidang.

Kromo tak bisa berhenti membaca tulisan itu karena paragraf demi pragraf seperti memancing dia untuk terus membacanya. Masih ada “recehan” lainnya, yakni dana intensif pembahasan rancangan undang-undang, honor uji kelayakan, dan dana kebijakan intensif. Tidak semua istilah anggaran itu dipahami Kromo, tetapi tidak terlalu pusingkan itu karena toh tetap saja maksudnya adalah pos anggaran. Dan jika ditotal secara keseluruhan penghasilan mereka setahun mencapai hampir satu milyar. Jika tidak lagi menjabat, mereka juga masih mendapatkan dana pensiun. Kromo pun makin geleng-geleng membacanya.

Detakan jantung Kromo seperti makin kencang begitu matanya tertuju pada gambar di akhir tulisan berupa foto para anggota dewan yang sedang tidur di saat sidang berlangsung. Meskipun tidak dinarasikan tetapi gambar itu sendiri sudah merupakan narasi yang sangat jelas bagi Kromo akan perilaku mereka.

Kromo pun terdiam dan kelihatan pucat seusai membaca tulisan tersebut. Mimik mukanya seakan ingin mengungkapkan banyak hal tetapi mulutnya tetap diam. Tiba-tiba dengan perkataan lirih dia berkata, “Pirang puluh tahun olehku nyambut gawe... Nek dikumpulke kiro-kiro yo mung sepiro....” Berapa persen penghasilan Kromo seumur hidup dibanding penghasilan anggota DPR setahun. Tentu sangatlah tidak sebanding, boro-boro punya uang sebanyak itu, melihat saja belum pernah.

Tetapi bukan soal punya uang sebanyak itu. Kalau bicara soal rejeki itu urusannya sing ngecet lombok, Gusti Allah yang ngatur. Kromo selalu teringat dengan wejangan Pakmu Gedhe tatkala bertandang di rumah pendoponya. Kepada Kromo ia pernah mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya mendapatkan rejekinya sendiri-sendiri. Tetapi dasar sifat manusia, selalu saja merasa kurang. Kromo pun menyadari itu sehingga ia tidak akan membayangkan pendapatannya seperti anggota DPR.

Yang membuat Kromo merasa terganggu adalah pengamatannya terhadap perilaku para anggota DPR yang menurutnya tidak pantas ditunjukkan. Melalui siaran berita di TV juga berulang kali ia saksikan mereka tidur di ruang sidang. Di saat tidak tidur mereka juga tertawa terbahak-bahak, sementara yang di luar gedung ratusan orang setiap hari silih berganti hanya ingin mengadukan nasibnya.

Seringkali pula diberitakan banyak kursi-kursi kosong karena banyak yang mangkir dari sidang. Mereka dibayar mahal agar sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat tetapi ternyata menipu. Dan, apa yang mereka dapatkan sangat tidak sebanding dengan perilaku yang ditunjukkannya.

Mensikapi hal itu Kromo hanya bergumam, “Dibelani mlebu krobongan margo pingin ganti kahanan, dadine kok mengkono”. Mengorbankan waktu untuk hadir ke bilik suara sangat penting artinya bagi Kromo. Dia bukan saja mengorbankan waktu, tetapi mengorbankan pekerjaannya demi memilih wakil rakyat. Waktu sehari sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup keluarga Kromo.

Lamunan Kromo tiba-tiba dibuyarkan oleh kehadiran Pakmu Gedhe yang datang tiba-tiba. “Ono opo tho Mo..., kok ngelamun bae...?”. Dengan tergopoh-gopoh Kromo pun menunjukkan kertas oleh-oleh dari ponakannya. Pakmu Gedhe pun tersenyum membaca tulisan itu sehingga membuat Kromo heran. “Pakde kok Cuma mesem...!? Mbok ya paring pendapat tho...”.

Memang begitulah gaya khas Pakmu Gedhe yang tenang dalam setiap menghadapi masalah. Bedanya dengan Kromo, rasa keterkejutan Pakmu Gedhe biasa ditunjukkan dengan cara lain. Dan, itulah yang membuat Kromo kadang keliru menafsirkan sikap Pakmu Gedhe. Tapi yang tetap membuat senang, meski usia Kromo baru separohnya, Pakmu Gedhe adalah teman curhat dan pendengar yang baik. Termasuk curhat mengenai anggota DPR yang tidak karuan kelakuannya itu. Belum lagi yang berurusan dengan KPK karena melawan hukum berupa tindak pidana korupsi..

Ndak usah bingung, Mo...” Pakmu Gedhe pun angkat bicara. “Kalau cuma bingung masalah tidak akan selesai...”

Kromo langsung memotong, “Maksud Pakde niku pripun, tho...!? Ya jelas bingung, orang dipilih jadi wakil rakyat, dibayar mahal dari duit rakyat, lha kok cidro sama rakyat...”

Pakmu Gedhe tersenyum lagi. “Ngene lho, Mo... Yang salah itu bukan cuma mereka. Lha wong kita juga lebih dulu salah. Selama lima tahun ini kita telah memberi amanat kepada orang yang salah untuk ngurus negara. Lha orang yang kita percaya itu ternyata tidak memiliki keprihatinan terhadap nasib rakyat. Mereka ini orang-orang yang sesunguhnya tahu akan keadaan kita, tapi memang tidak peduli nasib kita. Akibat dari pilihan yang salah pula, kita mendapatkan orang-orang yang tidak kita inginkan. Jadi selama lima tahun ini kita tetap menanggung keadaan yang tanpa pernah ada perubahan apa-apa.”

“Lha wong dulu itu saya juga cuma ikut-ikutan mawon, Pakde... jenenge uwong pilihan parte mestine nggih wong sing apik, pikir kulo wektu niku...”

“He he he.... itu ‘kan yang kamu pikirkan... Pikiran itu juga tidak salah, Mo. Salahnya itu karena kita terlalu percaya dengan pilihan kita yang sama sekali tidak kita kenal. Saat kampanye memang kedengaran bagus-bagus, banyak janji-janji mereka ucapkan karena tujuannya memang membujuk kita. Bunyi-bunyian slogan di pinggir-pinggir jalan itu juga bagus-bagus. Tetapi apa itu cerminan yang sesungguhnya? Apa semuanya akan dipenuhi jika terpilih? Belum tentu, karena menyatakannya tidak mudah, tergantung pada niat hatinya. Menjadi wakil rakyat itu dibutuhkan niat yang ikhlas dan berani. Punya keikhlasan dan kejujuran, tapi tidak punya keberanian juga tidak akan merubah keadaan. Punya keberanian tetapi tidak ikhlas juga akan jadi bumerang. Tetapi kita juga punya kewajiban untuk selalu mengingatkan mereka agar sungguh-sungguh dengan janjinya, bekerja untuk rakyat.”

“Lha kalau kedua sifat itu tidak dimiliki semua calon bagaimana, Pakde?”

“Kita ini punya hak kebebasan untuk menggunakan hak pilih kita, dan kita juga punya hak untuk menilai mana yang sesuai dengan harapan-harapan kita. Keputusannya ada pada kita masing-masing. Kata lain dari pemilu kan ‘pengadilan rakyat’, kita punya kesempatan untuk memilih yang bisa dipercaya atau tidak lagi memilih yang tak bisa dipercaya. Pokoknya seperti yang ditulis dalam slogan-slogan pemilu itu, PILIHAN ANDA MENENTUKAN MASA DEPAN KITA. Mulo kudu mawas lan waspodo”.

“Ah ! Pakde niku belum menjawab pertanyaan saya, kalau tidak ada yang cocok niku pripun? Nek mboten milih mawon pripun..?”

“Embuh ah...! Pokoke aku tidak ingin ngajari kamu untuk golput!”

“He he he.... Pakde ngambek....”

January 5, 2009

Keep It Simple Stupid (?)

Seorang teman mengirimkan sebuah e-mail (terusan) kepada saya yang bercerita tentang beberapa kasus. Cerita-cerita tersebut(mungkin) dimaksudkan untuk lesson learn mengenai konsep berfikir dan bertindak secara sederhana dalam rangka mengatasi persoalan. Point penting yang hendak dimaksudkan dengan cara ini tentu saja adalah efisiensi, yakni disamping persoalan diatasi secara sederhana tentu juga berbiaya murah. Prinsip ini sebenarnya sama sekali tidak salah, bahkan sangat diperlukan di saat situasi krisis yang menyebabkan hidup berbiaya tinggi ini. Tetapi masalahnya adalah contoh kasus yang dipaparkannya diambil dari konteks yang berbeda dan tidak sederhana, sehingga tidaklah representatif.

Si empu cerita menurut saya melupakan hal-hal yang sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Kebijakan sebuah institusi multinasional bisa secara sengaja memilih cara yang rumit karena berbagai kepentingan di balik upaya pengatasan masalah itu oleh karena pertimbangan nilai strategisnya.

Sebelum saya berkomentar lebih jauh, berikut adalah ketiga cerita tersebut.

Cerita Pertama, adalah kasus kotak sabun yang kosong, yang terjadi di salah satu perusahaan kosmetik terbesar di Jepang. Perusahaan tersebut menerima keluhan dari pelanggan yang mengatakan bahwa kotak sabun yang dibelinya ternyata cuma bungkus kosong. Dengan segera pimpinan perusahaan menyampaikan masalah itu ke bagian pengepakan bahwa, ada satu kotak sabun yang terluput dan sampai ke bagian pengepakan dalam keadaan kosong.

Untuk mengatasi itu maka diciptakanlah sebuah mesin sinar X dengan resolusi tinggi yang mampu memonitor setiap kotak sabun yang melewatinya sehingga bisa dipastikan bahwa kotak tersebut tidak kosong. Tetapi untuk mencitakan mesin itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Tetapi ketika sebuah perusahaan kecil mengalami hal yang sama cukup diatasi dengan kipas angin sebagai alat sensor. Dengan kipas angin itu, setiap ada kotak sabun kosong yang melewatinya akan tertiup dan keluar dari jalur pengepakan.

Cerita Kedua, pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa, mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol, karena tinta pulpen tersebut tidak dapat mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan biaya 12 juta dolar.

Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan- keadaan seperti gravitasi nol, terbalik, dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal dan dalam derajat temperatur mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat celcius.

Dan apakah yang dilakukan para astronout dari Rusia ? Mereka cukup dengan menggunakan pensil!.

Cerita Ketiga, suatu hari, pemilik apartemen menerima komplain dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Dia (pemilik) mengundang sejumlah pakar untuk men-solve.

Satu pakar menyarankan agar menambah jumlah lift. Tentu, dengan bertambahnya lift, waktu tunggu jadi berkurang. Pakar lain meminta pemilik untuk mengganti lift yang lebih cepat, dengan asumsi semakin cepat orang akan terlayani. Kedua saran tadi tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tetapi, pakar lain berpendapat, Inti dari komplain pelanggan anda adalah mereka merasa lama menunggu”. Pakar tadi hanya menyarankan untuk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, agar pelanggan teralihkan perhatiannya dari pekerjaan “menunggu” dan merasa “tidak menunggu lift”.

Pada akhir paparannya kemudian oleh penutur disimpulkan demikian:

“Moral cerita ini adalah sebuah filosofi yang disebut KISS (Keep It Simple Stupid), yaitu selalu mencari solusi yang sederhana, sehingga bahkan orang bodoh sekalipun dapat melakukannya. Cobalah menyusun solusi yang paling sederhana dan memungkinkan untuk memecahkan masalah yang ada. Maka dari itu, kita harus belajar untuk fokus pada solusi daripada pada berfokus pada masalah.”

Menyimak ketiga kasus tadi, logika yang diandalkan terhadap konklusinya terlalu biner, yakni menempatkan logika rumit vs sederhana, mahal vs murah, lamban vs cepat, dsb. Tindakan pemecahan yang rumit, boros dan memakan waktu sebagai diametral dari tindakan yang simple, efisien dan cepat. Sampai pada kesimpulannya, pengambil kebijakan dinilai stupid, bukannya mengatasi secara sederhana dan murah melainkan memilih cara yang dinilai kurang efektif. Padahal sesunguhnya ada reasoning lain yang dibangun di antara pilihan-pilihan yang sesungguhnya tidak sekedar biner dalam logika.

Logika efisiensi memang tidak salah, hukum ekonomi pun mengatakan demikian, terutama bagi siapapun yang sedang atau ingin sukses dalam berbisnis. Hingga di sekolah-sekolah kita selalu hukum ekonomi yang mengajarkan “modal sekecil-kecilnya, keuntungan sebanyak-banyaknya”. Tetapi mensikapi tiga kasus di atas tidak bisa di lihat secara sederhana dan harus dicermati secara lain.

Hal-hal yang sesungguhnya harus dicermati adalah, mengapa NASA berani mengeluarkan uang 12 juta dolar hanya untuk menciptakan sebuah pulpen yang dapat berfungsi dalam grafitasi nol?; Mengapa perusahaan repot-repot menciptakan mesin sinar X, bukankah cukup dengan kipas angin pun bisa?; Mengapa memilih membangun fasilitas lift berkecepatan tinggi, bukannya dengan memasang kaca cermin sehingga pengguna lift bisa sibuk “narsis” di depan kaca dan tak bosan menunggu?

Para pengambil kebijakan dalam tiga kasus tadi bukan tidak tahu bahwa ada cara sederhana yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah-masalahnya. Secara konteks yang berbeda kita sering mendengar orang mengungkapkan sinisme terhadap praktik pelayanan publik pemerintahan, “kalau bisa dipersulit mengapa musti dipermudah…”. Ungkapan ini seringkali dipakai orang dalam menghadapi situasi birokrasi yang mengadung sinyalemen kebosanan publik yang terlalu banyak membuang energi maupun biaya hanya untuk mendapatkan sebuah pelayanan. Dan, dibalik kerumitan birokrasi pelayanan ini sesungguhnya terkandung keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi.

Suatu tindakan dilakukan bukan tanpa alasan, dan alasan selalu mempengaruhi tujuan dari suatu tindakan. Bagi penganut kapitalisme liberal, berfikir dan bertindak sederhana hanya akan menghilangkan peluang investasi yang dampak keuntungannya tak lagi terhitung.

Untuk membuat sebuah pulpen yang memerlukan riset dan pengujian ilmiah selama satu dekade dengan biaya 12 juta dolar bukanlah upaya untuk sekedar berboros. Tetapi kapitalisme memandang mengembangkan karya inovasi melalui proses panjang ini berarti pula menciptakan peluang investasi. Yang berkunjung ke luar angkasa bukan cuma bangsa Amerika melainkan juga bangsa-bangsa di dunia. Mereka ini nantinya juga bakal menggunakan pulpen tersebut yang dimungkinkan harganya bisa mencapai ratusan ribu dolar.

Hal yang sama juga berlaku dalam penciptaan mesin sinar X bagi perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar tidak perlu repot menciptakan mesin sinar X sendiri karena sudah ada perusahaan yang memproduksinya. Ini juga merupakan investasi yang berdampak pada sistem produksi yang efisien, tidak lagi manual, jumlah tenaga yang sedikit tetapi volume produksi semakin meningkat. Sebuah karya inovasi memiliki bobot nilai tinggi bila barang yang dihasilkannya tidak mudah dilakukan setiap orang, dan pastilah akan biasa-biasa saja jika setiap orang bisa menciptkan barang atau sesuatu yang sama dan tidak punya nilai investasi.

Untuk sebuah tujuan yang besar dan tidak mudah dilakukan setiap orang diperlukan pula investasi yang besar. Berinvestasi secara recehan hanya akan berdampak pula secara recehan, disamping tidak punya nilai strategis juga tidak berdampak pada "perubahan" besar bagi publik. Investasi yang besar tidak hanya berdampak pada surplus ekonomi, melainkan juga terjadinya revolusi budaya dan perubahan cara pandang baru masyarakat tentang dunianya. Karena karakteristik kapitalisme adalah setiap karya inovasi diorientasikan kepada upaya untuk mempengaruhi setiap perubahan cara hidup masyarakat.

Inilah sesungguhnya yang sedang terjadi dalam perubahan masyarakat kita dewasa ini, di mana perilaku manusia dipengaruhi oleh perubahan pola pikir dan sikap budaya massa yang konsumtif dan imajiner. Guna mencitrakan diri dalam imajinasinya sebagai manusia modern maka ia harus merubah konsep keinginan menggantikan kebutuhan.

Kapitalisme telah menjadi spiritualitas baru yang membentuk manusia bukan lagi sebagai sobyek atas dirinya. Citra dirinya bukan pada nilai-nilai yang diyakini, melainkan benda apa yang dimiliki. Image tentang keanggunannya diputuskan oleh jenis kosmetik dan merek bajunya. Dan, manusia tiba-tiba menjadi “mahluk rasial” oleh tafsir kecantikannya yang “hanya mengakui” jenis warna kulit tertentu, yang industri kecantikan pun siap untuk merubahnya. Praktik kapitalisme dengan demikian mulai menggeser nilai spiritualitas masyarakat yang inheren sehingga manusia mengalami krisis kepercayaan diri dan makin mengucilkan citra alamiahnya.

Dunia kapitalisme sangatlah memahami hal-hal yang kecil, alamiah, dan sederhana. Tetapi melakukan hal-hal yang kecil, alamiah dan sederhana berarti tidak berorientasi pada hasrat kapitalisme yang ingin merubah cara pandang publik dunia. Untuk sebuah tujuan mempengaruhi dan merubah cara pandang publik dimulai bukan dengan cara sederhana. []

December 12, 2008

Catatan Harian Orang Biasa (1)

Sosoknya yang sederhana adalah ciri melekat dalam diri Mbah Juri (60th), demikian sapaan akrabnya, seorang petani di Desa Bonomerto, sebuah desa di Jawa Tengah. Badannya yang kecil, kurus, kering, jadi melengkapi citra kesederhanaannya sebagai orang desa. Tapi jangan salah, Mbah Juri bukanlah orang desa yang lugu dan “ndeso” tetapi ia adalah orang desa yang cukup berwawasan. Penampilannya yang sederhana seringkali membuat orang bisa salah menilai kalau ternyata dia adalah orang yang memiliki banyak wawasan. Di saat berkesempatan berbincang dengannya, saya banyak mendapatkan hal-hal genuine dan sangat nalar darinya. Wawasannya juga tidak kalah dengan orang-orang “sekolahan”. Tidak jarang kami pun suka terlibat diskusi setiap kami bertemu.

Perkenalan saya dengan Mbah Juri sejak tahun 90-an di desa kediamannya yang tidak jauh dari desa kelahiran saya. Secara kebetulan rumah Mbah Juri bersebelahan dengan rumah bulik saya. Saya kerap bertemu dia dari kebiasaannya “numpang” baca koran langganan di teras rumah famili saya itu. Semakin lama saya amati rupanya dia orang yang sangat menyukai informasi dan selalu megikuti perkembangan dunia melalui berita. Bahkan saya pernah mendengar ia memutar siaran berbahasa Indonesia dari radio BBC London. Konon itulah kebiasaannya tiap jam 08 malam dan jam 05 pagi. Koran dan radio adalah sumber informasinya untuk mengetahui apa saja yang terjadi di luar desanya, dari yang nasional hingga yang global.

Tidak setiap orang desa haus informasi atau gemar megkonsumsi berita, bahkan para pegawai negeri atau pamong desa pun tak banyak yang memiliki kebiasaan itu. Jangankan baca koran, mendengarkan radio yang hanya pasang telinga saja hampir jarang dilakukan. Tetapi intensitas nonton teve jauh lebih tinggi karena media yang satu ini paling gampang merangsang perhatian hingga membentuk seseorang dalam kesadaran tertentu. Tapi Mbah Juri adalah pengecualian dari antaranya.

Berita politik adalah bagian penting yang sangat diminatinya. Ia memang pernah aktif di organisasi politik (parpol). Bahkan hingga di tingkat kecamatan namanya sering disebut-sebut karena kapasitasnya memang diakui. Mengapa Mbah Juri masih rajin di partai? Jawabnya bukan dirinya yang pengin terus berpolitik, tetapi para pengurus yang terus memintanya untuk tetap di partai. Maka dikabulkanlah permintaan mereka disamping memang sudah “dari sononya” gemar berorganisasi.

Biacara soal strategi politik, Mbah Juri juga ahlinya. Setiap mendekati musim pemilihan kepala desa (Pilkades) “keahlian berpolitik” Mbah Juri sering menjadi rebutan para calon kepala desa, bukan sebagai dukun melainkan menjadi “orang ahli” dalam menyusun strategi mengorganisasikan pemenangan pemilihan. Meski begitu tetap saja diakui bahwa tidak setiap campur tangannya selalu berhasil dalam pertarungan. Karena menurut pengalamannya, strategi pengorganisasian bukanlah penentu satu-satunya untuk bisa menang, dan harus didukung oleh faktor lain, misalnya, perilaku sosial kemasyarakatan si calon. Menurutnya, jadi pemimpin di desa itu memang gampang-gampang susah. Karena hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin tak dibutuhkan perantara. Beda dengan bupati atau gubernur yang terlalu banyak dindingnya, karena itulah yang mengakibatkan selalu beda kemauannya dengan rakyat.

Siapa Mbah Juri itu sebenarnya?

Mbah Juri memang bukan sekedar petani. Di tahun 1970-an ia pernah menjadi guru agama berstatus pegawai negeri. Ia ditempatkan di sebuah desa terpencil (untuk ukuran saat itu) di Temanggung. Tetapi setelah sekitar dua tahun bertugas, ia mendapatkan surat pemberhentian sebagai PNS. Nasib serupa juga dialami puluhan rekan-rekannya tanpa mereka tahu sebab-musababnya. Pada saat dikonfirmasi perihal isi surat tersebut kepada dinas terkait, jawaban yang pasti tidak mereka peroleh kecuali sepenggal kalimat: “….kami juga tidak tahu, karena ini keputusan dari atas….”. hanya itulah yang keluar dari mulut pejabat dinas. Dan ia pun tidak tahu harus mengadu lagi ke mana. Komnas HAM juga belum ada saat itu, akses ke lembaga-lembaga bantuan hukum tidak semudah seperti sekarang.

Kesalahan apa yang membuat ia harus menerima pemecatan dari PNS? Itulah pertanyaan yang tidak terjawab hingga hari ini. Memiliki catatan kriminal? Tidak. Ajaran agamanya telah membentuk dirinya benar-benar menjadikannya orang baik dimata negara maupun masyarakatnya sehingga tidak mungkin melakukan tindakan melawan hukum. Terlebih dia adalah orang dengan cita rasa sosial yang tinggi dan berjiwa penolong. Terlibat dalam organisasi PKI? Jelas tidak, bahkan semasa mudanya sangat aktif di salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indoensia yang justru berseberangan dengan PKI.

Karena tidak satupun jawaban yang menunjukkan tentang kepastian nasibnya, ia pun kembali ke kampung halaman dengan segala beban penderitaannya. “Tetapi saya punya Gusti Allah, maka saya serahkan sepenuhnya kepadaNya, karena itu saya tidak perlu merasa dendam. Mungkin itu bukan jalan takdir saya…”. Begitulah ia memupus cerita pahitnya di masa lalu.

Mbah Juri terus menjalani hidup demi keluarganya. Ia kembali menekuni pekerjaan yang diwariskan orang tuanya sebagai petani. Tetapi memang ia bukanlah tipe orang yang suka diam. Naluri berorganisasinya ternyata tak pernah mati. Sejak pemerintah Orde Baru melakukan fusi partai politik, dia pun terjun di salah satu partai berbasis massa Islam. Alasan memilih partai ini karena menurutnya masih sehaluan dengan organisasi politik yang pernah diterjuninya sejak sebelum Orde Baru.

Apa yang dicari, Mbah Juri? Tidak mencari apa-apa,

tidak mencari kedudukan atau jabatan politik apapun, apalagi keuntungan ekonomi. Bahkan kalau dihitung secara ekonomi dia justru tombok karena setiap kali menghadiri rapat di kecamatan juga hanya mengandalkan kocek pribadi, dan semuanya dilakukan dengan ikhlas. Yang dia lakukan adalah berjuang. Setiap generasi yang hidup haruslah belajar dan berjuang untuk suatu tujuan. Berjuang tidak untuk kepentingan sendiri, tetapi harus bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. Parpol memang bukan wadah satu-satunya sebagai alat perjuangan tetapi toh tak ada salahnya dijadikan sebagai pilihan, senyampang menjalaninya dengan semangat perjuangan dan kejujuran.

Tidak kapok dengan kader-kader parpol yang tidak jujur, korup, dan ingkar janji? Dia tahu dan menyadari, banyak sekali kritikan masyarakat terhadap partai-partai politik yang demikian, termasuk partainya. Dia pun marah, kalau setiap hari ada saja berita para elite politik di kota banyak yang berurusan dengan KPK karena ketahuan “ngutil” uang rakyat. Tetapi dia juga senang ada lembaga KPK yang sangat aktif memberantas korupsi. Siapapun yang melanggar hukum harus ditindak, tidak peduli itu pejabat atau elit politik manapun. Dan sebagai orang biasa, meskipun dampaknya paling dirasakan orang-orang biasa, tapi tidak bagiannya lagi untuk ikut ramai-ramai mempersoalkannya. Yang lebih ngerti dan tahu bagaimana mengatasi korupsi juga sudah banyak. Tak ada perlunya “nguyahi segoro” yang sudah asin.

Mbah Juri adalah orang biasa dan menjalani hidup sebagaimana orang biasa. Tapi kreativitasnya membangun wawasan dan pemikirannya itu yang membedakan dia dengan orang biasa pada umumnya. []