May 7, 2009

“Pengadilan Rakyat”

Sudah menjadi kebiasaan Kromo, setiap liburan keponakannya yang sekolah di kota selalu membawakan dia oleh-oleh berupa kertas print out berisi berita-berita dari internet. Meskipun melalui tangan kedua Kromo sering mendapatkan berita dari internet yang saat ini juga telah menjadi media alernatif bagi sebagian masyarakat. Karena cukup banyak informasi yang tidak tersaji di koran dan tv tapi tersaji di internet. Informasinya juga sering mengejutkan karena menyajikan data “bawah meja” atau dinamika yang sesungguhnya layak diberitakan tapi luput dari pemberitaan. Awalnya Kromo sering terkejut setiap membaca berita yang baru, tapi karena terlalu seringnya membaca Kromo pun makin terbiasa.

Tetapi kali ini Kromo benar-benar teramat sangat terkejut dengan oleh-oleh yang terakhir. Berita ini bertajuk “PENDAPATAN ANGGOTA DPR”, yang di dalamnya menyebutkan pendapatan para anggota DPR yang mencapai hampir satu milyar per tahun. Angka sebesar itu terdiri dari gaji pokok per bulan dan tunjangan rutin lainnya, seperti tunjangan-tunjangan kehormatan, komunikasi, aspirasi, listrik, dan pengawasan. Di luar itu mereka juga mendapatkan gaji ke-13 setiap bulan Juni serta dana reses sebanyak empat kali dalam satu tahun sidang.

Kromo tak bisa berhenti membaca tulisan itu karena paragraf demi pragraf seperti memancing dia untuk terus membacanya. Masih ada “recehan” lainnya, yakni dana intensif pembahasan rancangan undang-undang, honor uji kelayakan, dan dana kebijakan intensif. Tidak semua istilah anggaran itu dipahami Kromo, tetapi tidak terlalu pusingkan itu karena toh tetap saja maksudnya adalah pos anggaran. Dan jika ditotal secara keseluruhan penghasilan mereka setahun mencapai hampir satu milyar. Jika tidak lagi menjabat, mereka juga masih mendapatkan dana pensiun. Kromo pun makin geleng-geleng membacanya.

Detakan jantung Kromo seperti makin kencang begitu matanya tertuju pada gambar di akhir tulisan berupa foto para anggota dewan yang sedang tidur di saat sidang berlangsung. Meskipun tidak dinarasikan tetapi gambar itu sendiri sudah merupakan narasi yang sangat jelas bagi Kromo akan perilaku mereka.

Kromo pun terdiam dan kelihatan pucat seusai membaca tulisan tersebut. Mimik mukanya seakan ingin mengungkapkan banyak hal tetapi mulutnya tetap diam. Tiba-tiba dengan perkataan lirih dia berkata, “Pirang puluh tahun olehku nyambut gawe... Nek dikumpulke kiro-kiro yo mung sepiro....” Berapa persen penghasilan Kromo seumur hidup dibanding penghasilan anggota DPR setahun. Tentu sangatlah tidak sebanding, boro-boro punya uang sebanyak itu, melihat saja belum pernah.

Tetapi bukan soal punya uang sebanyak itu. Kalau bicara soal rejeki itu urusannya sing ngecet lombok, Gusti Allah yang ngatur. Kromo selalu teringat dengan wejangan Pakmu Gedhe tatkala bertandang di rumah pendoponya. Kepada Kromo ia pernah mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya mendapatkan rejekinya sendiri-sendiri. Tetapi dasar sifat manusia, selalu saja merasa kurang. Kromo pun menyadari itu sehingga ia tidak akan membayangkan pendapatannya seperti anggota DPR.

Yang membuat Kromo merasa terganggu adalah pengamatannya terhadap perilaku para anggota DPR yang menurutnya tidak pantas ditunjukkan. Melalui siaran berita di TV juga berulang kali ia saksikan mereka tidur di ruang sidang. Di saat tidak tidur mereka juga tertawa terbahak-bahak, sementara yang di luar gedung ratusan orang setiap hari silih berganti hanya ingin mengadukan nasibnya.

Seringkali pula diberitakan banyak kursi-kursi kosong karena banyak yang mangkir dari sidang. Mereka dibayar mahal agar sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat tetapi ternyata menipu. Dan, apa yang mereka dapatkan sangat tidak sebanding dengan perilaku yang ditunjukkannya.

Mensikapi hal itu Kromo hanya bergumam, “Dibelani mlebu krobongan margo pingin ganti kahanan, dadine kok mengkono”. Mengorbankan waktu untuk hadir ke bilik suara sangat penting artinya bagi Kromo. Dia bukan saja mengorbankan waktu, tetapi mengorbankan pekerjaannya demi memilih wakil rakyat. Waktu sehari sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup keluarga Kromo.

Lamunan Kromo tiba-tiba dibuyarkan oleh kehadiran Pakmu Gedhe yang datang tiba-tiba. “Ono opo tho Mo..., kok ngelamun bae...?”. Dengan tergopoh-gopoh Kromo pun menunjukkan kertas oleh-oleh dari ponakannya. Pakmu Gedhe pun tersenyum membaca tulisan itu sehingga membuat Kromo heran. “Pakde kok Cuma mesem...!? Mbok ya paring pendapat tho...”.

Memang begitulah gaya khas Pakmu Gedhe yang tenang dalam setiap menghadapi masalah. Bedanya dengan Kromo, rasa keterkejutan Pakmu Gedhe biasa ditunjukkan dengan cara lain. Dan, itulah yang membuat Kromo kadang keliru menafsirkan sikap Pakmu Gedhe. Tapi yang tetap membuat senang, meski usia Kromo baru separohnya, Pakmu Gedhe adalah teman curhat dan pendengar yang baik. Termasuk curhat mengenai anggota DPR yang tidak karuan kelakuannya itu. Belum lagi yang berurusan dengan KPK karena melawan hukum berupa tindak pidana korupsi..

Ndak usah bingung, Mo...” Pakmu Gedhe pun angkat bicara. “Kalau cuma bingung masalah tidak akan selesai...”

Kromo langsung memotong, “Maksud Pakde niku pripun, tho...!? Ya jelas bingung, orang dipilih jadi wakil rakyat, dibayar mahal dari duit rakyat, lha kok cidro sama rakyat...”

Pakmu Gedhe tersenyum lagi. “Ngene lho, Mo... Yang salah itu bukan cuma mereka. Lha wong kita juga lebih dulu salah. Selama lima tahun ini kita telah memberi amanat kepada orang yang salah untuk ngurus negara. Lha orang yang kita percaya itu ternyata tidak memiliki keprihatinan terhadap nasib rakyat. Mereka ini orang-orang yang sesunguhnya tahu akan keadaan kita, tapi memang tidak peduli nasib kita. Akibat dari pilihan yang salah pula, kita mendapatkan orang-orang yang tidak kita inginkan. Jadi selama lima tahun ini kita tetap menanggung keadaan yang tanpa pernah ada perubahan apa-apa.”

“Lha wong dulu itu saya juga cuma ikut-ikutan mawon, Pakde... jenenge uwong pilihan parte mestine nggih wong sing apik, pikir kulo wektu niku...”

“He he he.... itu ‘kan yang kamu pikirkan... Pikiran itu juga tidak salah, Mo. Salahnya itu karena kita terlalu percaya dengan pilihan kita yang sama sekali tidak kita kenal. Saat kampanye memang kedengaran bagus-bagus, banyak janji-janji mereka ucapkan karena tujuannya memang membujuk kita. Bunyi-bunyian slogan di pinggir-pinggir jalan itu juga bagus-bagus. Tetapi apa itu cerminan yang sesungguhnya? Apa semuanya akan dipenuhi jika terpilih? Belum tentu, karena menyatakannya tidak mudah, tergantung pada niat hatinya. Menjadi wakil rakyat itu dibutuhkan niat yang ikhlas dan berani. Punya keikhlasan dan kejujuran, tapi tidak punya keberanian juga tidak akan merubah keadaan. Punya keberanian tetapi tidak ikhlas juga akan jadi bumerang. Tetapi kita juga punya kewajiban untuk selalu mengingatkan mereka agar sungguh-sungguh dengan janjinya, bekerja untuk rakyat.”

“Lha kalau kedua sifat itu tidak dimiliki semua calon bagaimana, Pakde?”

“Kita ini punya hak kebebasan untuk menggunakan hak pilih kita, dan kita juga punya hak untuk menilai mana yang sesuai dengan harapan-harapan kita. Keputusannya ada pada kita masing-masing. Kata lain dari pemilu kan ‘pengadilan rakyat’, kita punya kesempatan untuk memilih yang bisa dipercaya atau tidak lagi memilih yang tak bisa dipercaya. Pokoknya seperti yang ditulis dalam slogan-slogan pemilu itu, PILIHAN ANDA MENENTUKAN MASA DEPAN KITA. Mulo kudu mawas lan waspodo”.

“Ah ! Pakde niku belum menjawab pertanyaan saya, kalau tidak ada yang cocok niku pripun? Nek mboten milih mawon pripun..?”

“Embuh ah...! Pokoke aku tidak ingin ngajari kamu untuk golput!”

“He he he.... Pakde ngambek....”

No comments: